Gender Based Violence/Kekerasan Berbasis Gender
(Sebuah Refleksi ALA Fellowship: Gender Sensitive Good Governance: The Safety Of Women and The Protection Of Children)
Kekerasan (violence) adalah hal lumrah yang sering kita dengar, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan lebih sering terjadi karena pelaku merasa berhak melakukan kekerasan terhadap korban (superiority over victim). Sebagian besar kasus kekerasan menjadikan perempuan sebagai korban (victim). Akan tetapi, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan juga ada yang menjadi pelaku kekerasan (perpetrator).
Kekerasan yang melibatkan perempuan dan laki-laki ini lebih sering disebut sebagai Gender Based Violence (GBV). Seseorang mendapatkan perlakuan kekerasan yang lebih sering diakibatkan oleh peran gendernya atau karena jenis kelaminnya.
Kekerasan berbasis gender (GBV) adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut segala jenis kekerasan yang dialami oleh seseorang yang merupakan hasil dari ketidakseimbangan kekuatan yang mengeksploitasi perbedaan antara perempuan dan laki-laki, antara laki-laki, dan antara perempuan itu sendiri (Gender Based Violence is an umbrella term used to describe all kinds of harm that is perpetrated against a person’s will that is a result of power imbalances that exploit distinctions between female and male, amongst males, and amongst females. Kekerasan ini dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, kekerasan ekonomi dan kekerasan sosio kultural.
Dalam konteks ini saya ingin menyederhanakan GBV sebagai hasil ketidak proporsional distribusi kekuatan antara laki-laki dan perempuan. Ketidak proposionalan ini merupakan sebuah konstruksi sosial yang menganggap/membenarkan perlakuan kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Misalnya, dari sudut pandang agama yang menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, dan seorang laki-laki berhak memukul istrinya. Ini adalah hal yang seringkali digunakan sebagai pembenaran ketika sebuah tindak kekerasan terjadi terhadap seorang perempuan, terutama kekerasan dalam rumah tangga (bahkan tak jarang kekerasan masa pacaran juga menggunakan dalil ini). Tapi, apakah tindakan pemukulan yang dilakukan oleh seorang laki-laki misalnya, sesuai dengan yang diajarkan agama? Apakah kekerasan yang terjadi dilakukan sesuai dengan tahap-tahap yang diajarkan oleh agama? Apakah tujuannya untuk mendidik dan mengingatkan istri sesuai dengan yang diajarkan oleh agama? Berapa persen kekerasan itu yang murni merupakan pelampiasan emosi???
Dari segi budaya misalnya, bahwa istilah Mongodulahu (perempuan siang/perawan) menjadikan perempuan yang mengalami kekerasan ketika keluar pada malam hari disalahkan atas kekerasan (pemerkosaan misalnya) yang menimpanya. Bahkan, karena hal ini sudah menjadi konstruksi sosial, menjadikan perempuan itu pun merasa bahwa kekerasan itu terjadi karena salah perempuan itu sendiri. Seringkali kita tidak berempati terhadap orang yang mengalami kekerasan yang dialami oleh sesama perempuan.
GBV seringkali didasarkan pada mitos-mitos sebagai berikut:
- hanya terjadi pada masyarakat miskin dan terpinggirkan.
Faktanya, GBV juga terjadi pada golongan mayoritas yang kaya dan terdidik. Ada berapa banyak pengetahuan sosial (gossip) yang kita punya tentang pejabat yang senang memukuli istrinya, atau pacarnya, atau berselingkuh, atau sering mengeluarkan kata-kata kotor? Ada berapa banyak laki-laki miskin disekitar kita, yang mungkin tidak mengenyam pendidikan, namun dapat menghormati istrinya dan memperlakukan keluarganya dengan baik? Singkatnya, GBV terjadi disemua kelompok masyarakat tanpa memandang ras dan tingkat pengetahuannya.
- Laki-laki itu tidak dapat mengontrol dirinya, kekerasan adalah bawaan lahir seorang laki-laki.
Ini adalah mitos yang sangat tidak benar. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa kekerasan bukan bawaan genetik (bukan bawaan lahir). Kekerasan itu dipelajari (gendering) oleh laki-laki dalam perkembangannya. Mitos bahwa laki-laki pantang menangis adalah salah satu contohnya. Model maskulinitas yang di alamatkan kepada laki-laki merupakan hal yang mengijinkan bahkan mendorong terjadinya kekerasan ini. Seringkali dalam budaya kita, ketika seorang laki-laki sedang marah kita sering mendengar kalimat ini, kalo bo laki-laki ngana ini so pica-pica atau sayang nganga parampuan uti. So what? Apakah dengan menjadi laki-laki memberikan hak untuk memukul? Atau ketika seorang laki-laki berusaha menghindari perkelahian, kita sering mendengar, bo parampuan, punako! So what??
- Seseorang menjadi korban GBV karena kesalahannya sendiri, karena tingkah lakunya yang tidak sepatutnya.
Faktanya, mitos ini (menyalahkan korban) adalah sikap yang berpotensi membahayakan kelangsungan hidup seseorang yang menjadi korban GBV. Seperti yang telah dikemukakan diatas, bahwa sering kali ketika seseorang perempuan mengalami harashment perlakuan tidak senonoh, itu karena kesalahan perempuan itu sendiri, yang misalnya terlalu genit, suka menggoda, berpakaian tidak senonoh, dll. Sikap blaming/menyalahkan seperti ini yang membuat korban GBV terkadang tidak dapat bertahan dan dalam beberapa kasus berat (perkosaan misalya) memilih untuk mengakhiri hidupnya.
- Sebagian besar perempuan Mengalami pelecehan oleh orang yang tidak dikenal, Perempuan lebih aman ketika mereka berada di rumah.
Mitos ini tidak benar, memang tidak sedikit perempuan yang mengalami pelecehan yang pelakunya adalah orang asing. Namun penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan yang mengalami GBV, sebagian besar pelakunya adalah orang yang mereka kenal, mereka percaya, bahkan mereka cintai.
Hmm, hal ini juga cenderung menyebabkan banyak kasus GBV itu berulang dan tak terungkap. Faktor kedekatan, kepecayaan, harga diri keluarga, dan kata maaf yang biasa dilakukan pelaku terkadang membuat korban mepercayai dan memaafkan serta berusaha melupakan kekerasan yang dialaminya, dan memendamnya menjadi sebuah beban psikologis korban sendiri.
Selanjutnya, GBV tidak hanya mempengaruhi korban, tapi juga masyarakat disekitarnya. Imbas kekerasan berbasis gender ini adalah pada hal-hal seperti kesehatan, emosi, sistem hukum dan peradilan, dan keamanan lingkungan masyarakat.
Dari segi kesehatan korban sudah sangat jelas, misalnya ketika korban mengalami kekerasan seksual, atau kekerasan fisik lain yang berakibat penyakit atau luka. Imbas yang lebih luas pada komunitas sosial adalah bagaimana tenaga medis menangani korban kekerasan seperti ini? Berempatikah, bersimpatikah atau bahkan tidak keduanya.
Dilihat dari sisi emosi, korban akan mengalami masalah emosional seperti amarah, ketakutan, perasaan membenci diri sendiri, malu, depresi, isolasi, bahkan dalamtingkatan yang sangat akut, terlebih jika tidak didukung oleh keluarga dan masyarakat sosialnya dapat berakibat pada bunuh diri. Penolakan komunitas terhadap korban, pengucilan dari komunitas, dan gossip.
Hal berikut yang sering menjadi kendala adalah sistem peradilan dan perangkat hukum kita. Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga kita misalnya, hanya mencakup kekerasan fisik. Kekerasan psikologis dan emosi serta kekerasan ekonomi tidak tercakup dalam undang-undang ini. Terlebih kekerasan masa pacaran, yang sedang trend sekarang ini sama sekali tidak tercover, kecuali oleh KUHP, namun jarang sekali kasus kekerasan masa pacaran yang bisa dibawa kepengadilan. Sikap penegak hukum kita yang sangat tidak pro-gender equality menyulitkan membawa kasus GBV ini ke peradilan, terutama sikap penegak hukum yang menganggap GBV adalah sebuah urusan domestik(terutama untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga).
Dari sisi keamanan dan lingkungan masyarakat, GBV menyebabkan korban merasa tidak aman, diteror, dan ketakutan. Iklim ketakutan dan ketidakamanan ini mempengaruhi kebebasan perempuan dan persepsi tentang keamanan pribadi. Dari segi sosial, bisa berimbas pada kurangnya partisipasi perempuan dalam kehidupan sosial, dan terkadang juga ketidak amanan ini membuat orang tidak mau ke sekolah karena takut.
Sebagai kesimpulan, tulisan ini hanya merupakan refleksi, dan ketidaksetaraan gender merupakan penyebab terjadinya GBV terutama Kekerasan Dalam Rumah Tangga/Domestic Violence. Kita semua perlu bergandeng tangan untuk memerangi kekerasan berbasis gender ini. Paling tidak kedepan, kita tidak akan mendengar di sebuah seminar perkataan seperti ”Ayo yang gender-gender maju kedepan”. Anggaran daerah kita lebih pro-gender equality (bukan hanya pro-perempuan lho). Proporsionalitas distribusi kekuatan antara perempuan dan laki-laki akan terwujud. Dan kedepan, tidak akan ada lagi perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan karena dia perempuan dan sebaliknya, tidak akan ada lagi sinetron ISTI (Ikatan Suami Takut Istri).
Refference:
- ALA Fellowship: Gender- sensitive responses to women’s safety and child protection
- UN SCR 1325 (Resolusi DK PBB)
- gender and peace keeping training course available in http: ///www.genderandpeacekeeping.org/menu-e-asp
- CEDAW: Convention On The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women.
- Laporan MDGs Indonesia available in www.undp.or.id/laporan/mdgs/indonesia.
- Groverman, V., (2005) Gender Equality and Good Governance: A Training Manual Developed for CEOSS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar