Senin, 30 Mei 2011

Desertifikasi!!!


ANCAMAN DESERTIFIKASI LAHAN AGROPOLITAN GORONTALO
Sewindu yang lalu Gorontalo masih merupakan hutan belantara dengan daerah pertanian tradisional dan tanpa nama. Sejak boomingnya agropolitan dengan jagung sebagai entripointnya Gorontalo lambat laun menjadi daerah terkenal di Indonesia. Provinsi Jagung, dan tentu saja dengan pemimpinnya yang lebih dikenal dengan nama gubernur jagung. Berbagai kesuksesan, seperti pertumbuhan ekonomi yang berada diatas rata-rata nasional dan peningkatan pendapatan masyarakat menjadi prestasi yang mengukir sewindu perjalanan daerah ini.
Terlepas dari berbagai kesuksesan diatas, ada harga yang harus dibayar oleh seluruh rakyat Gorontalo untuk kesuksesan ini. Ancaman banjir dan yang akan kita bicarakan kali ini, Desertifikasi atau pembentukan gurun.
Desertifikasi berasal dari  kata Desert yang berarti gurun. Dengan demikian pengertian desertifikasi dapat juga diartikan sebagai proses terbentuknya gurun. Sebagaimana dikutip dari IYDD (International Year of Desert and Desertification) dalam bulletin yang diterbitkan oleh GER (Global Education Room, South Australia) Desertifikasi berarti penambahan daerah gurun yang sudah ada dan dapat juga berarti proses dimana daerah luas yang sebelumnya subur dan produktif menjadi kering kerontang dan tidak dapat lagi digunakan untuk bercocok tanam. Kedua definisi ini cukup mengerikan. Namun kita hanya akan memfokuskan pada definisi kedua, karena Gorontalo tidak memiliki gurun. Proses desertifikasi biasanya disebabkan oleh dua factor, yang pertama adalah perubahan iklim yang sangat ekstrim dan yang kedua adalah karena ulah manusia. Desertifikasi karena campur tangan manusia misalnya adalah eksploitasi tanah yang berlebihan, pengelolaan air yang salah dan pembabatan hutan, serta pertanian mono kultur.
Mungkinkah desertifikasi terjadi di Gorontalo? Jawabannya adalah sangat mungkin dan pasti. Apalagi jika kita memperhatikan visi pertanian kita, yang hanya berupa peningkatan produksi. Peningkatan produksi yang memicu eksploitasi sumber daya lahan dan penggunaan pupuk kimia dan hybrid serta GM secara berlebihan. Eksloitasi sumber daya lahan ini lebih mengacu kepada konversi lahan yang memiliki kemiringan lebih dari 10% untuk digunakan sebagai lahan pertanian. Dan pengolahan tanah pada lahan miring yang salah merupakan penyebab utama desertifikasi lahan di Gorontalo. Data analisis citra satelit tahun 2005 menunjukkan bahwa ada 62.000 hektar lahan pertanian yang dilakukan di lahan miring.
Selama ini, kita memaksakan penanaman jagung pada lahan miring untuk memacu jumlah produksi. Dan tanpa memikirkan pengolahan tanahnya. Bagi kita, sebelum menanam, semua batang pohon besar yang tumbuh di lahan dibersihkan dengan ditebang dan rumput kecilnya dibakar. Lebih parah lagi bahwa petani diberi bantuan paket herbisida untuk memusnahkan semua tanaman dari lahannya, kemudian bibit hybrid sekaligus pupuk dan pestisidanya. Ridiculous! begitu komentar salah seorang teman dari daerah tetangga ketika tahu apa yang kita lakukan dengan tanah kita.
Sehingga ketika hujan datang, tes, tes, tes, byur!!!! (begitu kira-kira bunyinya) banjir besar melanda, menggerus tanah dan bahkan tak jarang menghanyutkan jagung yang telah ditanam oleh para petani kita. Sebuah pemandangan yang sering menyapa ketika kita memasuki daerah Pohuwato di musim hujan. Panen demi panen, jagung kita yang sebelumnya besar semakin mengecil, persis seperti iklan di tv, Bo Kalebanga Uwamu. Petani kita pun mulai bertanya, dan Alakazam! pemerintah memberikan solusinya, pakai benih unggul dan pupuk merek tertentu, di tambah iklan yang menggiurkan. Tetapi hal yang sama kembali terulang, panen pertama bagus, dan panen berikutnya hasil produksi semakin menurun. Apa yang salah dengan solusi ini? Ternyata solusi yang selama ini ada bukanlah solusi yang berkelanjutan. Hanya mengatasi masalah sejenak dan menimbulkan masalah baru.
Tanah kita seperti sapi perah yang di perah terus menerus tanpa diberi makan, sampai akhirnya mati (desertifikasi).  Lapisan top soil yang subur, habis tergerus oleh air hujan, tinggal menyisakan batuan dan tanah tandus. Sampai akhirnya tak ada lagi tanaman yang bisa tumbuh disana. Sehingga petani akhirnya harus pindah ke tempat lain, untuk membuka lahan baru, dan masalah baru kembali terjadi. Tanda-tanda terjadinya desertifikasi, sudah jelas di depan mata kita. Banjir dengan siklus yang semakin pendek, semakin menandakan bahwa tanah Gorontalo kian tertatih-tatih dan tidak mampu lagi menahan air. Lihatlah jumlah sedimen di muara-muara sungai, menyisakan lahan diatasnya dengan tanah bebatuan yang sama sekali tidak subur.
Pengelolaan tanah yang buruk ini masih ditambah lagi dengan pertanian mono kultur yang berbahaya. Satu jenis tanaman yang sama di tanam di satu lokasi dan musim demi musim tanpa memberikan waktu kepada tanah sehingga tanah menjadi jenuh dan tidak mampu lagi menyokong kehidupan tanah diatasnya. Terlebih cara bertani monokultur kita seperti yang digambarkan diatas, “membersihkan ladang sebersih-bersihnya”.  Terkadang kita lebih sering melihat masalah penurunan produksi terletak pada penggunaan benih, atau pupuk kimia, serta pestisida yang kurang. Padahal masalah sebenarnya terletak pada ketidak mampuan tanah untuk mendukung tanaman yang tumbuh diatasnya. Akhirnya sampailah masa dimana sumber daya lahan kita tidak mampu lagi menyokong kebutuhan pangan bagi manusia (Nadjamuddin, 2007). Sebuah ancaman terhadap keamanan pangan kita.
Lalu, apakah masih ada harapan untuk kita memperbaiki tanah kita? Harapan itu selalu ada, namun yang terpenting adalah konsistensi kita menjalankannya.
To be continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar