Sabtu, 05 Februari 2011

Cerita Tentang Taman Nasional Bogani Nani Wartabone


Nilai Sebuah Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Bagi Gorontalo
Rencana pemerintah mengalihfungsikan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone menjadi areal penggunaan lain seluas 15.190 ha menjadi hal yang harus diperhatikan bersama. Bukan hanya oleh pemerintah dan dunia usaha, juga oleh kita sebagai masyarakat biasa.  
Dalam salah satu rekomendasi tim terpadu di Gedung Manggala Wanabakti, 2 Oktober 2009 yang lalu menyebutkan bahwa karena memiliki potensi mineral yang sudah ditambang secara liar sejak 1978, maka kawasan di TNBW direkomendasikan untuk dijadikan kawasan Hutan Produksi Terbatas. Lebih lanjut, dalam catatan tim terpadu disebutkan bahwa alihfungsi tersebut HARUS merupakan bagian komitmen pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah PETI (Pertambangan Tanpa Ijin) di TNBW.
Beberapa pertanyaan yang muncul dengan rekomendasi ini adalah: pertama; apakah ketika dialihfungsikan menjadi HPT (baca: dijadikan daerah pertambangan komersil) masalah di TNBW akan selesai? Mengingat bahwa beberapa perusahaan tambang di Gorontalo seperti PT. Gorontalo Minerals sudah lebih dulu memegang konsesi di beberapa kawasan TNBW seperti di Bolaang Mongondow seluas 10.350Ha. Mengapa kita tidak berkaca dari Freeport yang sampai sekarang membuat jakun kita turun naik ketika kekayaan alam kita dibawa keluar. Kalau demikian pertanyaan kedua yang muncul adalah: Bukankah dengan dialihfungsikannya TNBW menjadi HPT malah akan membawa masalah baru-baik social maupun ekologi, dan ekonomi- bagi masyarakat Gorontalo? Mengapa kita tidak berkaca ke kasus Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat. Masalah ekologi dan kesehatan serta social yang menyebabkan 300 kepala keluarga dari teluk buyat yang harus menjadi eksodus ke Desa Duminanga di Bolmong Selatan.
Masih dalam catatan yang sama, dikatakan bahwa alihfungsi TNBW akan digunakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Dengan cara apa masyarakat setempat akan disejahterakan? Masyarakat TNBW adalah masyarakat petani, peladang, dan kalau pun ada yang bekerja sebagai penambang liar, maka hampir pasti bukan sebagai pemilik modal, namun sebagai buruh pekerja. Ketika daerah ini dikomersilkan, maka otomatis sebuah perusahaan akan mencari tenaga-tenaga terdidik dan terlatih serta memiliki pengalaman bekerja dengan pertambangan komersil. Pengalaman pekerja tambang di Freeport Papua meminggirkan orang local dan merekrut pekerja yang sebagian besar berasal dari luar Papua. Bisa dibayangkan ketika itu terjadi di Gorontalo. Pertimbangan kedua, adalah bahwa emas membutuhkan sangat banyak air, untuk 10 gram emas murni harus digelontorkan air sebanyak 1040 liter. Sumur-sumur air  TNBW di kecamatan suwawa untuk waktu sekarang saja sudah mengalami kekeringan hebat pada musim kemarau kemarin, bagaimana nanti ketika setiap hari airnya di sedot untuk menggiling bebatuan menjadi emas. Dan yang paling perlu diingat adalah bahwa TNBW menjadi gudang air bagi Gorontalo. Jika kandungan airnya berkurang atau tercemar maka yang akan terancam hidupnya bukan saja mereka yang tinggal di sekitar taman nasional, tapi juga kita yang tinggal diperkotaan dan menggunakan air minum dari PDAM Gorontalo. Ini juga belum termasuk jumlah limbah berbahaya yang digunakan ketika terjadi pelepasan emas dari batuan. Limbah seperti merkuri, arsen dan cadmium yang digunakan dan ditemukan dalam pertambangan emas.
Hal terakhir yang paling penting untuk menimbang rencana alihfungsi TNBW ini adalah valuasi ekonomi. Apakah nilai ekonominya seimbang ketika lahan ini dialihfungsikan dengan ketika dia dibiarkan tetap terjaga sebagai taman nasional kita? Sebagai bahan pertimbangan, sebagaimana yang dicatat oleh kawan Herman Teguh dari Lestari, bahwa di Dumoga, TNBW menjadi pengendali tata air untuk sawah di sepanjang Dumoga seluas 32.000Ha dengan produksi sebesar 167.000 ton pertahun, yang bila dirupiahkan nilainya adalah 718,6 milliar rupiah per tahun. Dibandingkan dengan pendapatan dari pertambangan jika seluruh kawasan DAS Dumoga dijadikan daerah pertambangan, maka hanya 360 milliar per tahun. Jumlah yang sungguh tidak sebanding untuk mengorbankan nilai yang lebih besar demi kepentingan sesaat. Nilai ini belum termasuk dengan nilai TNBW yang menjadi ladang air terbesar Pulau Sulawesi.
Dari Analogi diatas, dihargai berapakah kontribusi TNBW terhadap lumbung pangan kita di daerah kabila, suwawa, dan Tapa? Dihargai berapakah TNBW oleh kita yang menggantungkan konsumsi air minum kita pada PDAM yang mengambil airnya dari sungai Bone di TNBW?
To be continued....

my thought


Bahasa Bonda, Taman Nasional Bogani dan keunikannya
Kenangan masa kecil mandi dan mencari udang di sungai Bone melintas ketika meluai menulis artikel sederhana ini. Bahasa Bonda atau sering disebut bahasa Bune, atau bahasa Suwawa, adalah bahasa tertua di daratan Gorontalo. Hal ini didasarkan pada kesamaan asal usul suku Suwawa yang disebut sebagai Tiyombu (nenek moyang) dalam U Duluwo Limo Lo Pohalaa, juga menilik kesamaan bahasa suwawa dengan bahasa Atinggola dan sejarah persebaran bangsa Witohiya dan Pidodotiya yang merupakan nenek moyang suku-suku di Gorontalo sampai pada dataran Sulawesi Tengah. Bahasa Bonda juga memiliki banyak kesamaan dengan bahasa Bolaang Mongondow, dikisahkan bahwa kedua daerah ini dahulunya diperintah oleh dua orang bersaudara, Pulumoduyo di Suwawa dan raja Mooduto di Bolaang mongondow.  Peperangan kedua kakak beradik ini berakhir dengan kematian raja Pulumuduyo di daerah yang sekarang disebut Pinogu (Pinogumbata/Pilohumbala/Perkelahian) sebuah dataran di enclave TNBW (bukan Pinogu yang berbentuk kampong sekarang, namun daerah jauh ke arah timur desa Pinogu yang sekarang/Pinogu Lama). Kompleks makam raja-raja kerajaan Suwawa masih bisa dijumpai di dearah hulu sungai bulawa, di kaki bukit Sinandaha (tempat bersandarnya kapal/pelabuhan), sekitar satu hari perjalanan dari desa Pinogu sekarang. Namun situs lain yang bisa ditemui adalah makam Raja Moluadu, Istrinya Ratu Sendena, dan kedua anaknya, di hulu sungai Bone, sekitar satu jam perjalanan dari desa Pinogu.
Kembali ke masalah bahasa Bonda, bahasa nenek moyang ini berangsur-angsur mulai ditinggalkan, terutama di kalangan anak muda. Bahasa ini dahulunya dipercakapkan di kecamatan Suwawa dan Bone Pantai* (Sebelum kedua kecamatan ini mengalami pemekaran menjadi beberapa kecamatan), namun sekarang bahasa ini mulai jarang terdengar dan makin terdesak ke timur, karena sebagian besar penduduk Suwawa dan Bone Pantai memilih bercakap-cakap dalam bahasa Gorontalo dan dialek Manado. Sekitar tahun 1996 Alm. Mansur Pateda mengemukakan kekhawatirannya akan punahnya bahasa ini dengan menyusun kamus bahasa Suwawa.
Keterdesakan bahasa Bonda ini bukan hanya disebabkan oleh tekanan Bahasa Gorontalo, dan dialek Manado saja. Kontribusi media seperti televisi dan radio memberikan kontribusi besar terhadap menghilangnya bahasa tertua ini. Para penyiar radio di Gorontalo misalnya, memilih untuk menggunakan dialek Jakarta/Betawi agar terdengar lebih gaul dan menarik. Selain itu, dikalangan generasi tua pun, bahasa Bonda dipandang sebagai bahasa yang kurang menarik. Sehingga ketika ada orang yang misalnya bercakap-cakap dengan sangat intense dan keras, diistilahkan dengan madelo bune butoolo (seperti orang Bonda yang sedang berdebat). Penutur muda bahasa bonda juga seringkali menemukan bahwa bahasa mereka dipandang rendah karena bahasanya. Misalnya ketika dengan sopan dan dalam dialek sehari-hari, seseorang yang berasal dari bahasa Bonda mengucapkan, “somo pulang kami,” maknanya adalah bahwa orang tersebut hendak pamit pulang, namun karna penggunaan kata kami, seringkali ditanyakan “kami barapa?” (berapa orang yang hendak pulang). Bahasa Bonda ini juga unik karena nada tertentu yang digunakan dalam penuturannya, seringkali disebut sebagai lagu. Seringkali karena ritme bahasa ini, si penutur bahasa bonda dipermalukan.
Namun terlepas dari hal-hal diatas, secara pribadi saya merasakan keberuntungan bisa terlahir dan mewarisi bahasa ini. Karena pembicaraan pribadi dalam keluarga misalnya bisa dilakukan di depan orang lain tanpa harus takut orang tersebut mengerti. Lebih beruntung lagi ketika saya bisa mengenali persamaan bahasa ini dengan bahasa-bahasa turunannya seperti bahasa Gorontalo, Atinggola, dan Mongondow. Sehingga ketika orang-orang bercakap-cakap dalam bahasa tersebut, saya tetap bisa memahami mereka.
Masyarakat Bonda kehilangan sebagian besar wilayahnya ketika pada sekitar awal tahun 2000an pemetaan wilayah Gorontalo yang baru tidak memasukkan kampong lama mereka sebagai bagian wilayah provinsi ini, sebaliknya masuk ke provinsi Sulawesi Utara. Proses pembuatan tapal batas antar provinsi ini, menurut penuturan masyarakat Pinogu dilakukan oleh tentara, dan masyarakat local pernah diperbantukan untuk mengangkut semen untuk prasasti tapal batas ini.
Kini masyarakat bonda semakin terdesak, bukan saja karena penuturnya makin sedikit kurang dari 4000 penutur (dikategorikan sebagai bahasa di ambang kepunahan), tapi juga karena Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (Bogani/Bugani/Buheli/Berani) yang menjadi tempat mereka bernaung, dan menyandarkan hidup dan penghidupannya, sebentar lagi akan dicaplok oleh penambang besar yang rakus. Ah,,,miris memang, tapi apalah artinya teriakan mereka di telinga penguasa yang tuli dan masyarakat yang apatis, yang melihat hijaunya TNBW seperti hijaunya  lembaran cek yang akan masuk ke rekening mereka.