Selasa, 20 September 2011

When enough is Enough!

When enough is enough! (kontemplasi bencana banjir di bone raya dan bone daa, gorontalo )

by Uminya Qisara on Tuesday, September 20, 2011 at 2:08pm
 
" Kawan, kemarin bone raya dan bone daa dilanda banjir lagi, setidaknya ada tiga korban jiwa. korban harta benda belum terestimasi." begitu pesan singkat yang masuk ke ponsel saya hampir seminggu yang lalu. mengejutkan dan menyedihkan. begitu reaksi pertama yang muncul. semoga para korban di beri kekuatan dan ketabahan untuk menghadapi ini semua. begitu biasanya respons sebagian kita terhadap bencana seperti ini. Respon paling jauh adalah mengumpulkan sumbangan bagi para korban, (which is good) selama bantuan ini tidak dipolitisir sebagai momen cari muka. mengingat betapa dekatnya momen banjir ini dengan momen penting beberapa bulan ke depan (baca: PEmilukada).

Beberapa media memberitakan bahwa cuaca (hujan) ditambah dengan pembalakan  liar di hulu menjadi penyebab kali ini, namun tidak dibahas lebih lanjut siapa yang melakukan pembalakan liar dan untuk apa pembalakan liar itu terjadi tidak dibahas. mungkinkah media takut membahasnya?

Marilah kita blak-blakan disini! (meskipun saya dan kawan-kawan mungkin bukan kawannya joni blak-blakan).

Pembalakan liar terjadi karena pembukaan wilayah hulu (Baca Taman Nasional Bogani Nani Wartabone) yang telah dikonversi untuk menjadi daerah pertambangan yang dikuasai oleh perusahaan PT. Gorontalo Minerals (GM) yang diperparah dengan penambangan secara sporadis oleh masyarakat. Kondisi daerah yang gundul, dengan konstruksi tanah yang mudah lepas serta diperparah dengan kondisi daerah yang cukup landai, menjadikan laju air menjadi tak tertahankan. Sampai kapan masyarakat harus menjadi korban bencana yang kita sebabkan kemudian kita salahkan pada alam?

Berapa banyak lagi korban yang dibutuhkan sampai mata dan mata hati kita terbuka bahwa pengalihfungsian TNBNW untuk dijadikan daerah pertambangan bukan jawaban untuk meningkatkan PAD dan mensejahterakan masyarakat!??

Seandainya pemerintah mau jujur, Sebagian besar PAD yang dikumpulkan selama beberapa tahun belakangan ini habis hanya untuk menanggulangi bencana banjir yang semakin sering bertamu ke daerah kita akhir-akhir ini.

Jika atas nama kesejahteraan rakyat, pemerintah mengalihfungsikan TNBNW untuk diserahkan kepada perusahaan besar dan ditambang secara masiv kandungan emasnya, maka dalam hitungan realnya berapa banyak masyarakat yang tersejahterakan dengan perusahaan ini? Sebandingkah dengan bencana yang harus ditanggung oleh kita yang mengkonsumsi air PDAM Gorontalo, kami yang tinggal di kawasan penyangga TNBNW, dan masyarakat yang menggantungkan hidupnya sektor pertanian dan perikanan yang dihidupi oleh TNBNW? Bukankah untuk kenyang kita tidak perlu lebih dari satu liter beras untuk memenuhi usus kita, dan untuk mati tidak lebih 2x1 meter kain kafan, serta 2X1X1 meter tanah tempat kita kembali?

APakah pemerintah sudah sedemikian putus asanya sampai harus menjual TNBNW atas nama kesejahteraan rakyat dan PAD? Tidak adakah pilihan lain?

Menggunakan sedimen danau limboto untuk dikelola menjadi semen portland misalnya? Bukankah pemerintah sejak 2008 sudah mengetahui bahwa sedimen Danau Limboto mengandung lebih dari 50% bahan baku semen portland. dan Bukankah dengan menyelamatkan Danau ini pemerintah bisa menjawab tiga masalah sekaligus, menjaga ketersediaan air tanah bagi masyarakat gorontalo, menanggulangi masalah banjir yang terus menerus melanda masyarakat sekitar danau, dan tentu saja meningkatkan PAD!

Apakah mungkin memang lebih mudah bagi penguasa untuk menjual TNBNW kita untuk kemudian membiarkan kita, masyarakat yang menanggung akibatnya, sementara mereka, bisa lari ke luar negeri atau luar daerah untuk menikmati apa pun kompenisasi yang mereka terima dari hasil penjualan TNBNW.

Hmm, semoga Tuhan membuka mata hati kita semua untuk berhenti menyakiti alam dan bumi tempat kita tinggal. Semoga Tuhan menjauhkan kita semua dari pemimpin yang tertutup mata hatinya untuk mendengar rintihan rakyatnya, dan semoga kita dijauhkan dari penguasa yang hanya berfikir untuk kepentingan pribadinya Aamiin.

Aah, semoga tulisan pendek ini dapat kembali mengingatkan kita semua, bahwa enough is enough! cukup sudah penderitaan masyarakat kita. jangan sampai demi menumpuk kekayaan yang pasti akan kita tinggalkan, kita mengorbankan jutaan masyarakat Gorontalo yang lain.

Ingin raasanya saya mengakhiri tulisan ini dengan sebuah kutipan dari seorang Pemimpin besar yang saya sangat kagumi
" Ketahuilah! Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin. Seorang raja yang memimpin rakyat adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya.... Ingatlah! Masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. (Shahih Muslim No.3408)

Salam,
dari sudut bumi Allah, Adelaide

Dewi Biahimo

Senin, 30 Mei 2011

Desertifikasi!!!


ANCAMAN DESERTIFIKASI LAHAN AGROPOLITAN GORONTALO
Sewindu yang lalu Gorontalo masih merupakan hutan belantara dengan daerah pertanian tradisional dan tanpa nama. Sejak boomingnya agropolitan dengan jagung sebagai entripointnya Gorontalo lambat laun menjadi daerah terkenal di Indonesia. Provinsi Jagung, dan tentu saja dengan pemimpinnya yang lebih dikenal dengan nama gubernur jagung. Berbagai kesuksesan, seperti pertumbuhan ekonomi yang berada diatas rata-rata nasional dan peningkatan pendapatan masyarakat menjadi prestasi yang mengukir sewindu perjalanan daerah ini.
Terlepas dari berbagai kesuksesan diatas, ada harga yang harus dibayar oleh seluruh rakyat Gorontalo untuk kesuksesan ini. Ancaman banjir dan yang akan kita bicarakan kali ini, Desertifikasi atau pembentukan gurun.
Desertifikasi berasal dari  kata Desert yang berarti gurun. Dengan demikian pengertian desertifikasi dapat juga diartikan sebagai proses terbentuknya gurun. Sebagaimana dikutip dari IYDD (International Year of Desert and Desertification) dalam bulletin yang diterbitkan oleh GER (Global Education Room, South Australia) Desertifikasi berarti penambahan daerah gurun yang sudah ada dan dapat juga berarti proses dimana daerah luas yang sebelumnya subur dan produktif menjadi kering kerontang dan tidak dapat lagi digunakan untuk bercocok tanam. Kedua definisi ini cukup mengerikan. Namun kita hanya akan memfokuskan pada definisi kedua, karena Gorontalo tidak memiliki gurun. Proses desertifikasi biasanya disebabkan oleh dua factor, yang pertama adalah perubahan iklim yang sangat ekstrim dan yang kedua adalah karena ulah manusia. Desertifikasi karena campur tangan manusia misalnya adalah eksploitasi tanah yang berlebihan, pengelolaan air yang salah dan pembabatan hutan, serta pertanian mono kultur.
Mungkinkah desertifikasi terjadi di Gorontalo? Jawabannya adalah sangat mungkin dan pasti. Apalagi jika kita memperhatikan visi pertanian kita, yang hanya berupa peningkatan produksi. Peningkatan produksi yang memicu eksploitasi sumber daya lahan dan penggunaan pupuk kimia dan hybrid serta GM secara berlebihan. Eksloitasi sumber daya lahan ini lebih mengacu kepada konversi lahan yang memiliki kemiringan lebih dari 10% untuk digunakan sebagai lahan pertanian. Dan pengolahan tanah pada lahan miring yang salah merupakan penyebab utama desertifikasi lahan di Gorontalo. Data analisis citra satelit tahun 2005 menunjukkan bahwa ada 62.000 hektar lahan pertanian yang dilakukan di lahan miring.
Selama ini, kita memaksakan penanaman jagung pada lahan miring untuk memacu jumlah produksi. Dan tanpa memikirkan pengolahan tanahnya. Bagi kita, sebelum menanam, semua batang pohon besar yang tumbuh di lahan dibersihkan dengan ditebang dan rumput kecilnya dibakar. Lebih parah lagi bahwa petani diberi bantuan paket herbisida untuk memusnahkan semua tanaman dari lahannya, kemudian bibit hybrid sekaligus pupuk dan pestisidanya. Ridiculous! begitu komentar salah seorang teman dari daerah tetangga ketika tahu apa yang kita lakukan dengan tanah kita.
Sehingga ketika hujan datang, tes, tes, tes, byur!!!! (begitu kira-kira bunyinya) banjir besar melanda, menggerus tanah dan bahkan tak jarang menghanyutkan jagung yang telah ditanam oleh para petani kita. Sebuah pemandangan yang sering menyapa ketika kita memasuki daerah Pohuwato di musim hujan. Panen demi panen, jagung kita yang sebelumnya besar semakin mengecil, persis seperti iklan di tv, Bo Kalebanga Uwamu. Petani kita pun mulai bertanya, dan Alakazam! pemerintah memberikan solusinya, pakai benih unggul dan pupuk merek tertentu, di tambah iklan yang menggiurkan. Tetapi hal yang sama kembali terulang, panen pertama bagus, dan panen berikutnya hasil produksi semakin menurun. Apa yang salah dengan solusi ini? Ternyata solusi yang selama ini ada bukanlah solusi yang berkelanjutan. Hanya mengatasi masalah sejenak dan menimbulkan masalah baru.
Tanah kita seperti sapi perah yang di perah terus menerus tanpa diberi makan, sampai akhirnya mati (desertifikasi).  Lapisan top soil yang subur, habis tergerus oleh air hujan, tinggal menyisakan batuan dan tanah tandus. Sampai akhirnya tak ada lagi tanaman yang bisa tumbuh disana. Sehingga petani akhirnya harus pindah ke tempat lain, untuk membuka lahan baru, dan masalah baru kembali terjadi. Tanda-tanda terjadinya desertifikasi, sudah jelas di depan mata kita. Banjir dengan siklus yang semakin pendek, semakin menandakan bahwa tanah Gorontalo kian tertatih-tatih dan tidak mampu lagi menahan air. Lihatlah jumlah sedimen di muara-muara sungai, menyisakan lahan diatasnya dengan tanah bebatuan yang sama sekali tidak subur.
Pengelolaan tanah yang buruk ini masih ditambah lagi dengan pertanian mono kultur yang berbahaya. Satu jenis tanaman yang sama di tanam di satu lokasi dan musim demi musim tanpa memberikan waktu kepada tanah sehingga tanah menjadi jenuh dan tidak mampu lagi menyokong kehidupan tanah diatasnya. Terlebih cara bertani monokultur kita seperti yang digambarkan diatas, “membersihkan ladang sebersih-bersihnya”.  Terkadang kita lebih sering melihat masalah penurunan produksi terletak pada penggunaan benih, atau pupuk kimia, serta pestisida yang kurang. Padahal masalah sebenarnya terletak pada ketidak mampuan tanah untuk mendukung tanaman yang tumbuh diatasnya. Akhirnya sampailah masa dimana sumber daya lahan kita tidak mampu lagi menyokong kebutuhan pangan bagi manusia (Nadjamuddin, 2007). Sebuah ancaman terhadap keamanan pangan kita.
Lalu, apakah masih ada harapan untuk kita memperbaiki tanah kita? Harapan itu selalu ada, namun yang terpenting adalah konsistensi kita menjalankannya.
To be continued

tulisan lama (selamat Ultah Indonesiaku)


Selamat Ultah Indonesiaku
(Perayaan Resepsi Hari Kemerdekaan dari Adelaide)
Hari ini, udara dingin Adelaide yang hanya berkisar 7-140c tidak membuat anak-anak Indonesia yang tinggal di Adelaide mengurungkan niat untuk melangkahkan kaki ke Grote Street, tempat dimana perayaan kemerdekaan negara kami akan dilaksanakan.
Perayaan kali ini, walaupun sedikit terlambat, mundul seminggu dari perayaan kemerdekaan kita di tanah air, namun tetap menyenangkan untuk diikut. Paling tidak, kita bisa mengenal komunitas Indonesia di Adelaide, atau sekedar untuk bisa gantung panic, kata beberapa mahasiswa Indonesia di Flinders University. Karena di perayaan ini juga disediakan bazaar makanan Indonesia dengan harga miring.
Ada perasaan syahdu, bahagia sekaligus sedih ketika merayakan hari berharga ini jauh dari tanah kelahiran. Bahagia karena sejauh apapun kami melangkah Indonesia tetap akan  ada dalam dada, namun sedih melihat kondisi Indonesia yang semakin carut marut.
Komunitas Indonesia Adelaide, yang diketuai bapak Soharto, selaku event organiser dari acara ini, mengakui, sekalipun beliau dan keluarga telah berpindah kewarganegaraan sebagai warga Negara Australia, namun dihatinya dia tetap orang Indonesia. Salah seorang anaknya, yang lahir dan besar di sini bahkan berkata, I am truly Indonesian even if I live and grow up here (saya tetap orang Indonesia meskipun saya lahir dan besar di sini).
Ada satu pertanyaan menggelitik hati saya mendengar perkataan ini. Jika Hakim, begitu nama anak itu biasa disebut, yang lahir dan besar di Australia saja masih merasa sebagai orang Indonesia dan mencintai negaranya, bagaimana dengan kita yang seumur hidup kita dihidupi oleh tanah air ini, tapi kemudian merusak bangsa ini. Tidak pernah merasa berterimakasih, dan bahkan malu menjadi orang Indonesia?

Gender Main Streaming


Gender Based Violence/Kekerasan Berbasis Gender
(Sebuah Refleksi ALA Fellowship: Gender Sensitive Good Governance: The Safety Of Women and The Protection Of Children)
Kekerasan (violence) adalah hal lumrah yang sering kita dengar, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan lebih sering terjadi karena pelaku merasa berhak melakukan kekerasan terhadap korban (superiority over victim). Sebagian besar kasus kekerasan menjadikan perempuan sebagai korban (victim). Akan tetapi, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan juga ada yang menjadi pelaku kekerasan (perpetrator).
Kekerasan yang melibatkan perempuan dan laki-laki ini lebih sering disebut sebagai Gender Based Violence (GBV). Seseorang mendapatkan perlakuan kekerasan yang lebih sering diakibatkan oleh peran gendernya atau karena jenis kelaminnya. 
Kekerasan berbasis gender (GBV) adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut segala jenis kekerasan yang dialami oleh seseorang yang merupakan hasil dari ketidakseimbangan kekuatan yang mengeksploitasi perbedaan antara perempuan dan laki-laki, antara laki-laki, dan antara perempuan itu sendiri (Gender Based Violence is an umbrella term used to describe all kinds of harm that is perpetrated against a person’s will that is a result of power imbalances that exploit distinctions between female and male, amongst males, and amongst females. Kekerasan ini dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, kekerasan ekonomi dan kekerasan sosio kultural.
Dalam konteks ini saya ingin menyederhanakan GBV sebagai hasil ketidak proporsional distribusi kekuatan antara laki-laki dan perempuan. Ketidak proposionalan ini merupakan sebuah konstruksi sosial yang menganggap/membenarkan perlakuan kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Misalnya, dari sudut pandang agama yang menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, dan seorang laki-laki berhak memukul istrinya. Ini adalah hal yang seringkali digunakan sebagai pembenaran ketika sebuah tindak kekerasan terjadi terhadap seorang perempuan, terutama kekerasan dalam rumah tangga (bahkan tak jarang kekerasan masa pacaran juga menggunakan dalil ini).  Tapi, apakah tindakan pemukulan yang dilakukan oleh seorang laki-laki misalnya, sesuai dengan yang diajarkan agama? Apakah kekerasan yang terjadi dilakukan sesuai dengan tahap-tahap yang diajarkan oleh agama? Apakah tujuannya untuk mendidik dan mengingatkan istri sesuai dengan yang diajarkan oleh agama? Berapa persen kekerasan itu yang murni merupakan pelampiasan emosi???
Dari segi budaya misalnya, bahwa istilah Mongodulahu (perempuan siang/perawan) menjadikan perempuan yang mengalami kekerasan ketika keluar pada malam hari disalahkan atas kekerasan (pemerkosaan misalnya) yang menimpanya. Bahkan, karena hal ini sudah menjadi konstruksi sosial, menjadikan perempuan itu pun merasa bahwa kekerasan itu terjadi karena salah perempuan itu sendiri. Seringkali kita tidak berempati terhadap orang yang mengalami kekerasan yang dialami oleh sesama perempuan. 
GBV seringkali didasarkan pada mitos-mitos sebagai berikut:
  1. hanya terjadi pada masyarakat miskin dan terpinggirkan.
Faktanya, GBV juga terjadi pada golongan mayoritas yang kaya dan terdidik. Ada berapa banyak pengetahuan sosial (gossip) yang kita punya tentang pejabat yang senang memukuli istrinya, atau pacarnya, atau berselingkuh, atau sering mengeluarkan kata-kata kotor? Ada berapa banyak laki-laki miskin disekitar kita, yang mungkin tidak mengenyam pendidikan, namun dapat menghormati istrinya dan memperlakukan keluarganya dengan baik? Singkatnya, GBV terjadi disemua kelompok masyarakat tanpa memandang ras dan tingkat pengetahuannya.
  1. Laki-laki itu tidak dapat mengontrol dirinya, kekerasan adalah bawaan lahir seorang laki-laki.
Ini adalah mitos yang sangat tidak benar. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa kekerasan bukan bawaan genetik (bukan bawaan lahir). Kekerasan itu dipelajari (gendering) oleh laki-laki dalam perkembangannya. Mitos bahwa laki-laki pantang menangis adalah salah satu contohnya. Model maskulinitas yang di alamatkan kepada laki-laki merupakan hal yang mengijinkan bahkan mendorong terjadinya kekerasan ini. Seringkali dalam budaya kita, ketika seorang laki-laki sedang marah kita sering mendengar kalimat ini, kalo bo laki-laki ngana ini so pica-pica atau sayang nganga parampuan uti. So what? Apakah dengan menjadi laki-laki memberikan hak untuk memukul? Atau ketika seorang laki-laki berusaha menghindari perkelahian, kita sering mendengar, bo parampuan, punako! So what??
  1. Seseorang menjadi korban GBV karena kesalahannya sendiri, karena tingkah lakunya yang tidak sepatutnya.
Faktanya, mitos ini (menyalahkan korban) adalah sikap yang berpotensi membahayakan kelangsungan hidup seseorang yang menjadi korban GBV. Seperti yang telah dikemukakan diatas, bahwa sering kali ketika seseorang perempuan mengalami harashment  perlakuan tidak senonoh, itu karena kesalahan perempuan itu sendiri, yang misalnya terlalu genit, suka menggoda, berpakaian tidak senonoh, dll. Sikap blaming/menyalahkan seperti ini yang membuat korban GBV terkadang tidak dapat bertahan dan dalam beberapa kasus berat (perkosaan misalya) memilih untuk mengakhiri hidupnya.
  1. Sebagian besar perempuan Mengalami pelecehan oleh orang yang tidak dikenal, Perempuan lebih aman ketika mereka berada di rumah.
Mitos ini tidak benar, memang tidak sedikit perempuan yang mengalami pelecehan yang pelakunya adalah orang asing. Namun penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan yang mengalami GBV, sebagian besar pelakunya adalah orang yang mereka kenal, mereka percaya, bahkan mereka cintai.
Hmm, hal ini juga cenderung menyebabkan banyak kasus GBV itu berulang dan tak terungkap. Faktor kedekatan, kepecayaan, harga diri keluarga, dan kata maaf yang biasa dilakukan pelaku terkadang membuat korban mepercayai dan memaafkan serta berusaha melupakan kekerasan yang dialaminya, dan memendamnya menjadi sebuah beban psikologis korban sendiri. 
Selanjutnya, GBV tidak hanya mempengaruhi korban, tapi juga masyarakat disekitarnya. Imbas kekerasan berbasis gender ini adalah pada hal-hal seperti kesehatan, emosi, sistem hukum dan peradilan, dan keamanan lingkungan masyarakat.
Dari segi kesehatan korban sudah sangat jelas, misalnya ketika korban mengalami kekerasan seksual, atau kekerasan fisik lain yang berakibat penyakit atau luka. Imbas yang lebih luas pada komunitas sosial adalah bagaimana tenaga medis menangani korban kekerasan seperti ini? Berempatikah, bersimpatikah atau bahkan tidak keduanya.
Dilihat dari sisi emosi, korban akan mengalami masalah emosional seperti amarah, ketakutan, perasaan membenci diri sendiri, malu, depresi, isolasi, bahkan dalamtingkatan yang sangat akut, terlebih jika tidak didukung oleh keluarga dan masyarakat sosialnya dapat berakibat pada bunuh diri. Penolakan komunitas terhadap korban, pengucilan dari komunitas, dan gossip.
Hal berikut yang sering menjadi kendala adalah sistem peradilan dan perangkat hukum kita. Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga kita misalnya, hanya mencakup kekerasan fisik. Kekerasan psikologis dan emosi serta kekerasan ekonomi tidak tercakup dalam undang-undang ini. Terlebih kekerasan masa pacaran, yang sedang trend sekarang ini sama sekali tidak tercover, kecuali oleh KUHP, namun jarang sekali kasus kekerasan masa pacaran yang bisa dibawa kepengadilan. Sikap penegak hukum kita yang sangat tidak pro-gender equality menyulitkan membawa kasus GBV ini ke peradilan, terutama sikap penegak hukum yang menganggap GBV adalah sebuah urusan domestik(terutama untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga).
Dari sisi keamanan dan lingkungan masyarakat, GBV menyebabkan korban merasa tidak aman, diteror, dan ketakutan. Iklim ketakutan dan ketidakamanan ini mempengaruhi kebebasan perempuan dan persepsi tentang keamanan pribadi. Dari segi sosial, bisa berimbas pada kurangnya partisipasi perempuan dalam kehidupan sosial, dan terkadang juga ketidak amanan ini membuat orang tidak mau ke sekolah karena takut.
Sebagai kesimpulan, tulisan ini hanya merupakan refleksi, dan ketidaksetaraan gender merupakan penyebab terjadinya GBV terutama Kekerasan Dalam Rumah Tangga/Domestic Violence. Kita semua perlu bergandeng tangan untuk memerangi kekerasan berbasis gender ini. Paling tidak kedepan, kita tidak akan mendengar di sebuah seminar perkataan seperti ”Ayo yang gender-gender maju  kedepan”. Anggaran daerah kita lebih pro-gender equality (bukan hanya pro-perempuan lho). Proporsionalitas distribusi kekuatan antara perempuan dan laki-laki akan terwujud. Dan kedepan, tidak akan ada lagi perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan karena dia perempuan dan sebaliknya, tidak akan ada lagi sinetron ISTI (Ikatan Suami Takut Istri).


Refference:
  1. ALA Fellowship: Gender- sensitive responses to women’s safety and child protection
  2. UN SCR 1325 (Resolusi DK PBB)
  3. gender and peace keeping training course available in http: ///www.genderandpeacekeeping.org/menu-e-asp
  4. CEDAW: Convention On The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women.     
  5. Laporan MDGs Indonesia available in www.undp.or.id/laporan/mdgs/indonesia.
  6. Groverman, V., (2005) Gender Equality and Good Governance: A Training Manual Developed for CEOSS.

What I thought of my Institution


INTERNATIONALIZED EDUCATION THROUGH GLOBALISATION IN THE CONTEXT OF GORONTALO STATE UNIVERSITY (UNG) AND EDUCATION LEADERS CONCERN
Introduction
As people all across the globe perceived this world as one integral part, and information as well as expectations of what is qualified education and non-qualified education becomes much more unified and borderless, education cannot be viewed in its own as a free agent. This is also applied in leadership as people are now become more critical toward the leadership style and leaders’ decision. Expectation toward a good leader spreads from developed countries to developing countries. For example, when Barrack Obama first elected as the president of The United States, people across the globe expected that they will have a leader that can create change as Obama’s election slogan.
In relation to globalisation, education and leadership above, this essay would like to explain how globalised-education has taken effect in a smaller context of one education institute, Gorontalo state university (UNG), and will also try to explore how the leader of this institution concern toward this issue is. In order to answer this second issue, Kotter’s criteria of organisational performance (1996, as cited in Daft & Pirola, 2009, p. 4) -in this case how leaders improve the performance of this institute to answer the challenge of internationalised-education- will be used. Those five crucial areas are direction, alignment, relationship, personal qualities, and outcomes. This essay will also argued that the current leaders concern, as it is related to his leadership style, will not be able to answer the challenge of this internationalised education. This essay will propose that in order to answer the challenge of internationalised education, the current leader has to convert to sustainable leadership style.
Gorontalo State University is an education institute located in Gorontalo province, Indonesia. This institution was formerly a teacher training institute. For almost 38 years (1965 to 2003) this institute was a teacher training institute. Today, this university manages 8 faculties in which four of those faculties are non-education/non-teachers training faculties. The university accommodates around nine thousand students, 500 lecturers, about 200 administration staff and lead by a rector.
Like most of the ex-teachers training institute, most of the mindset of the leaders and lecturers in this university are guru-minded. The interaction that happened in classes of this university are mostly one way interaction, where lecturers  give information and transfer the knowledge while the students are passive receivers. In the case of leadership, this university leadership tend to be bureaucratic leadership, where top-down decision making are being implemented. Therefore, based on my personal observation as one of the teaching staffs in this institution, the leaders in this institute tend to be transactional leaders. Transactional leaders are those who has defined by Daft and Pirola (2009, p.150) as people who engage in a process of exchange between the leaders and their followers, acknowledge the needs and purposes of their fellow members and creating the procedures in order to achieve those desirable stage.
However, time has changed and this institution is no longer a teacher trainings institute. The students and public expectation of this school are far more than just to produce teachers. The expectation shifted from producing teachers to producing professionals. Critical thinking in students now is better than the students in previous decades. Their ability toward the technology is also better compared to students few years ago. Information of knowledge and theories emerging from other part of the world are on their hand in the same day as the effect of globalisation. How can the teachers/lecturers in Gorontalo State University respond to this? Being resistant, keep applying the old method of teaching or upgrading their capacity to respond to this change? How is the leader in this institution cope with this change? Be bureaucratic leader as usual or change?
Discussion
As it has been discussed earlier that globalised education demanded the teachers to be more creative and active, since the influence of information and technology to education has created more critical and well-informed students. This is along with Wadham (2009, p.3) which mentioned that there are four trends in a globalised-education, namely:
1.       Reshaping of teaching and learning through intercultural education
2.      Education sustainability
4.      The convergence of learning for work, study and leisure.
Narrowing down this globalised education in the context of Gorontalo State University, there have been some efforts done to answer this challenge, such as:
-         Setting up long distance education centre, which is a collaborative teaching between the institute with some other institute outside the island and abroad universities, such as UKM, a university in the neighbouring countries.
-         Upgrading the information technologies and facilities available within each faculty in the university.
-         Training the lecturers on how to teach using up to date technologies, such as teleconferences, blogs, and using e-mails as means of communication between lecturers and student
-         Inviting the guest lecturers from other countries to Gorontalo state university, through Foreign Language Teaching Assistant programs, held between the university and the US embassy.
Apart from those efforts above, some lecturers in UNG, also have had chances to upgrade their abilities through studying abroad and to some leading universities outside the island. This opportunity comes through foreign scholarship and scholarship provided by the Directorate of Higher Education of the Republic of Indonesia (DIKTI). But is this enough to answer the challenge of the internationalised education in their institute?
Those efforts above, however, are not enough to fit with this internationalised education. This is because the technology is developing as fast as the expectation of the public and students to the university.
As it is admitted by Uno (2007, p.9) in general education in Indonesia is still seen as education that chained the freedom of the learners rather than a process of freeing the learners. By saying this he meant that the education is still guru-centred, where like or dislike, agree or disagree the learners have to follow what have been instructed by the teachers/lecturers, as the delivery of education that happens there is top-down. This is also probably what causes many of the high school graduate students from Gorontalo prefer to study outside the region.
To link with the trends of globalised-education that Wadham have stated above, reshaping the teaching and learning process through intercultural education, the efforts of the institute has been quite moderate. Inviting guest lecturers from abroad to teach and live in the region for a year have given students and other lecturers, as well as the institute, chances to experience teaching and learning process that normally conducted in the western culture. It has to be noted as well that the lecturers in the institute also have to teach in a diverse culture since the background of the students are also diverse.
It might be a personal statement, but from the writer personal observation as one of the teaching staffs there, there seem to be a resistant to the efforts of shifting this teaching and learning process from guru-centred to students centred. This resistance usually comes from the senior lecturers. One example of this resistance happened in mid 2008 when the guest lecturers (native English speakers) reviewed the teaching materials of a topic called Integrated-Intensive English Course and found many mistakes in it, and then the English department decided that the materials were going to be replaced. Many of the teaching staffs agreed. However, some senior lecturers refused by saying that if the materials were going to be replaced then they will withdraw themselves from teaching the topic. Their reason was that they do not have time if they have to work together to fix the materials. Finally the project ended up cancelled and it left disappointment to the guest lecturers and to some junior lecturers who have agreed and have started to work on fixing the topic.
Reshaping this teaching in learning process is also linked with the second trend where education in globalised era has to be sustainable. In Gorontalo state university, sustainability in education is still hard to achieve. As the example above, efforts to reformulate the teaching and learning process which have been started by the guest lecturers have discontinued because they have limited time to stay and developed it in Indonesia and that most of the lecturers in the institute go back to the old way of teaching.
From the students side, it had caused lost and confusion. When they begun to learn and criticise what they have learned, suddenly they are thrown back to the reality that they have to receive merely what the lecturers taught them. This also caused disappointment from the students and often led them to confronting the lecturers in front of the class. Thus, these kind of critical students become the enemy of the lecturers. And by this, the critical thinking ability that started to grow began to fade away.
Related to the third trend, Information technologies, multi-literacies, and learning for the future, it seems that this trend has been positively shown in some parts of the university. As it has mentioned above, the university is in the process of providing information technologies facilities for all faculties and departments. For multi-literacies, the awareness seems to come from the students themselves, where on their own efforts they try to find other source of knowledge and information to improve their capacity in order to be able to compete in the globalisation. For example, many of the English department students are now learning other languages such as Arabic and Japanese, and also improving their knowledge in information technologies, browsing from internet for some new information of the development of the language that they are learning.
Some lecturers also updating their learning through IT, and if not trying to be multi-literacies, they are trying to master something else other than their major educational background. This is in order to give them extra capacities from others, so they still can compete in the globalisation. This trend, again, mainly emerge from junior lecturers or those who had just finished their study outside the university.
As familiarization of new things (in this case IT) takes time, it is quite hard for the senior lecturers to get themselves used to using this kind of technologies and being master pieces, as well as learning for their future. For them, their future has been clearly seen and written, that after teaching, they will retired and enjoy their old days. Of course, it can be generalised for all lecturers, however most of the cases shown that way.
The fourth trend is convergence learning for work, study, and for leisure. Dewantara (as cited in Uno, 2007, p. 34) reminded that convergence in Indonesian education context means that in order to improve Indonesian education, it is necessary to adopt the values from western culture, but in practices, this culture has to be filtered. Education in Gorontalo State University has to be able to mix those items above into teaching and learning process. The students come to the university, beside for study, they want it for their future carrier (work). In the process of achieving the knowledge for their future carrier itself, they want to have fun (leisure). So learning for the future has to be fun. And if university wants to keep attract students, the teaching and learning process has to be full of meaning (knowledge), and useful for their future (improving their capacity to compete in the job world), and has to be fun.
Now, let’s look at how the leader responds toward this internationalised education that is happening in their institution.  As an organisation, Gorontalo State University in the globalised education has to be able to cope with global competition, in which as education provider, it has to compete in the “tightened economic competition” (Castells, 2000) with other universities. Leaders as persons responsible in leading the university shared a very important role to make their organisation survive this competition. This is because leaders are those who make decisions regarding to how the institute have to react to its fast changing environment.
Kotter’s argued that there are 5 ways to see the organisational performances; however, this essay will use Kotter’s criteria on how the leader improves his organisational performance. Once again it has to be noted that the leader here is a transactional leader.
The first criterion is direction. A good leader is supposed to know where the organisation is heading so it will enable him to direct the university toward that way. The leaders in UNG know that their target is to make the institute as one of the world class university as stated in the vision and mission of the university (UNG, 2008). In this sense, the leaders have a great concern toward the internationalised-education which is happening in their institution.
The second criterion is alignment. A good leader supposes to align all the resources, including people in the organisation toward the direction that has been set above. However, there are still in group and out group, where the allies of the leader are those in the in group and those in the out group consider being the opposition. Thus, alignment of power and resources toward the direction cannot be maximally achieved.
Related to the second criterion above is relationship as the third criterion. A synergic relationship is expected to be created by the leader in order to achieve the mission of the organisation.   The leader has tried to create a synergic relationship through meetings and listening to feedbacks from different elements of the university. However, as people have already has a perception about whose opinion would be heard, this synergic relationship never comes to happen. Each group in the university behold on the things that they believe as the right way toward the world class university and consider other groups way of doing things as wrong. In one way, this sound positive, that people think of there are more than one way to achieve this mission, but this become bad when they start to think that their way is the best, and others are wrong. This kind of debate has lead the university to stagnancy, and many of the best people choose to flea out of the university, whether for study or for other reasons.
The next criterion according to Kotter is personal qualities of the leader itself. However, it can be argued that, no matter how good the quality of the leader if he/she cannot listen to the people and make people listen to him, this personal quality will not affect much. The leader can set mission and vision of the organisation, yet, the people that he/she leads is critical in determining whether those vision and mission can be achieved or not.
The last criterion is the outcome. How can a leader expected to bring about a good outcome for the university if he cannot move people in the university? A world class university as the vision of UNG will only be achieved if all elements in this institution work hand in hand to achieve this.
Conclusion
Gorontalo State University (UNG) is affected by the globalisation as education, which is one of their main products become borderless and more demanding. There have been many programs and policy set to meet up this challenge, however, as there is resentment to change from some of the elements in this university, these efforts to cope with internationalised education still far from its target. The leader of this institute, who is a transactional, so far has failed to bring the change to the university. He has set the mission for this university to be a world class university, but since there is in group and out group in the institution, the mission seems hard to be achieved in the near future. Nevertheless, hope is always be there, as long as the leader and all element in the university can work hand in hand to act fast, to put all the policies and plans that they have made into actions. It is almost positive that Gorontalo State University, as one united body can be one of the leading university in Indonesia, and provide the professionals output as expected by the market.  


  


  






REFERENCES
Appadurai,A. (1996) Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy in (Eds)Lauder et al, Educatio, Globalisation and Social Change, 2006, Oxford Press, Oxford, Pp 179-188
Beare, H. (2001) From an Old-world View to a New in Creating the Future School, Routledge, Melbourne, Pp 11-12
Bech, Ulrich,. 2000, What is Globalisation?, Polity Press, Cambridge, UK, pp. 137-139.
Castells, M. (2000). The Rise of the Network Society. The Information Age. Economy, Society and
Culture. Volume 1. (2nd ed.). Oxford: Blackwell
Daft, Richard. L., & Pirola – Merlo, Andrew. (2009) The leadership experience: Asia-Pacific edition 1. Engage learning Australia.
Giddens, A. (1999) Runaway world: How Globalisation is Reshaping Our Lives, Profile books, London
Hargraeves, A. (1995) Paradoxes Of Change: School Renewal in the Postmodern Age, Ontario Institute for Studies in Education, Speech.
Lauder, H. et al (2006) The Prospects for Education: Individualisation, Globalisation and Social Change, in (Ed), Lauder et al, Education, Globalisation and Social Change, Oxford Press, Oxford, Pp 1-70
Olssen, M. (2004) Neo-liberalism, Globalisation, Democracy: Challenges for Education, in (Ed)Lauder et al, Education, Globalisation and Social Change, 2006, Oxford Press, Oxford, Pp 261-287
Said, E. (1978) Orientalism Now, in (Eds) Lauder et al, Education, Globalisation and Social Change, 2006, Oxford Press, Oxford
Singh, P. & Doherty, C. (2004). Global Cultural Flows and Pedagogic Dilemmas: Teaching in the Global University ‘Contact Zone’,  TESOL Quarterly, 38 (1), 9-42. Retrieved Sept 17,2010 from: qut.edu.au
Uno, Hamzah. (2007) Profesi Kependidikan: problema, solusi, dan reformasi pendidikan di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta
Wadham, Ben (2009), Lecture: Globalisation: Issues & Challenges, Retrieved September 08, 2010 from: web.mac.com/benwadham/CultureEducation/week_7_changing_times_2009.pdf