Minggu, 10 Juni 2012

PERJALANAN KE TIMUR

Pagi itu, pukul 5.00 sebuah perjalanan tak terencana ke timur di mulai. Timur yang hanya di kenal melalui cerita turun temurun, dan cerita orang-orang tua yang dulu pernah berdiam disana. Perjalanan yang hanya bermodalkan rasa ingin tahu akan tanah leluhur.Sebenarnya perjalanan ke timur ini bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua, namun kecepatannya dan rasa capeknya menurut mereka yang sering bepergian kesana adalah sama saja, hanya rutenya yang berbeda.
Jembatan gantung Tulabolo, menjadi garis start perjalanan itu. Matahari pun masih terlelap diantara selimut malamnya. setelah daerah pemukiman penduduk, peluh pun mulai bercucuran seiring naiknya matahari. Rasa lelah sejenak mengijinkan diri ini menikmati keindahan sumber air panas dan padang rumput Hungayono, tempat peneluran Macro Chepalon Maleo/, salah satu burung endemik Sulawesi.
Maleo atau yang dalam bahasa lokalnya disebut sebagai Panua/Tuwangge, adalah burung yang hidup berpasang-pasangan yang datang setiap pagi di situs tersebut untuk menggali sedalam 60cm dan kemudian si betina menelurkan telur yang tiga sampai empat kali lebih besar dari telur ayam, dan kemudian mengubur telur itu dalam lubang yang untuk selanjutnya menyerahkan kelangsungan hidup calon anaknya pada alam. Burung Rangkong pun seolah tak ingin ketinggalan menunjukkan bahwa ini juga merupakan habitatnya. Si pemakan biji itu bersama kawanannya berkaok-kaok dari atas salah satu cabang pohon di padang rumput itu.
Perjalanan selanjutnya melalui sungai kecil bernama Pomaguwo dan situs yang oleh penduduk lokal disebut sebagai Batu Meja, batu pipih berbentuk segi 4 yang melintang di tengah jalan setapak menuju Pinogu, di Timur Gorontalo. Sungai-sungai kecil lainnya juga terlewati, namun yang paling berkesan adalah sebuah sumber air kecil yang berasa sangat asin. Konon, dahulu kala ketika garam masih langka, penduduk Pinogu datang ke tempat ini untuk mengambil air untuk dijadikan sebagai pengganti garam dalam masakan.
Matahari semakin merangkak naik, seiring jalan yang mulai menanjak dan berliku. Lintah-lintah yang dengan serakahnya menghisap darah pun menjadi tak terasa oleh karena serunya perjalanan ini. Di perjalanan kami sering berpapasan dengan Kijang-kijang. Eits, jangan salah sangka dulu, kijang bukanlah hewan, melainkan orang-orang yang berprofesi sebagai porter yang mensuplai barang kebutuhan pokok masyarakat timur seperti minyak tanah, garam, dan ikan laut yang telah diasapi. Tidak ada batasan usia untuk menjadi seorang porter, selama anda bisa memanggul barang bawaan anda sejauh kurang lebih 28 kilo meter dari Tulabolo desa terakhir yang bisa dijangkau oleh kendaraan roda empat. Saya merasa malu sendiri pada anak kecil berumur 12 tahun yang harus membawa beban seberat 40 kg sampai ke Timur dan masih bisa tertawa dan bersantai ketika kami berpapasan saat makan siang di salah satu mata air kecil. Tas pakaian yang beratnya kurang dari 5 kg saja akhirnya saya serahkan kepada porter karena badan ini rasanya tak mampu lagi untuk memikul beban kecil itu.
Setelah melewati penyeberangan di Pohulongo, pada pukul 4 akhirnya sampai juga ke wilayah berpenghuni pertama di Timur. Menurut kawan seperjalanan, kami cukup cepat sehingga bisa mencapai perkampungan sebelum gelap. Walau pun kecepatan itu harus dibayar dengan salah seorang rekan mengalami kram otot betis.
Suasana kampung yang sepi tiba-tiba dikejutkan oleh suara seseorang melalui mega phone yang sedang memberikan pengumuman dalam bahasa Bonda, bahasa timur:
"Eiii Poti donodonogopa!
Aido Ita Mo lao ade laigiya ni Bapu Nerda
Mo miligo no ta hahatiba, bubuntunga, tatapa, titinggoda,
Tile gi bauta, lima gi bauta, wulu gi bauta, 
Daa mata gi lontupa
Daitiya Ninja!!!"
Awalnya pengumuman itu terasa asing, namun setelah diulang-ulang barulah tawa kami meledak.
Rupanya pegumuman itu ternyata adalah promosi untuk nonton bersama di rumah mantan kepala desa. Jika diterjemahkan artinya kira-kira seperti ini
"Perhatian-perhatian
Marilah kita berkumpul dirumahnya Kakek Nerda
Menonton orang yang saling pukul
Kaki tertutup, tangan tertutup, kepala tertutup
Hanya matanya yang melotot
Judul filmnya Ninja!!!"
Tak ada listrik sebagai penerangan di desa ini,hanya ada beberapa rumah yang menggunakan tenaga surya dan mesin generator kecil untuk penerangan, ssanya menggunakan lampu minyak tanah. sebagian besar desa gelap gulita begitu malam menjelang.
Rasa lelah setelah perjalanan seharian baru terasa ketika selesai makan malam. Kaki ini tak bisa digerakkan dari batas paha ke bawah. untuk naik ke tempat tidur saja, rasanya sangat sakit.Namun hidangan makan malam dan keramahan masyarakat di sini, membuat rasa sakit dan lelah itu terlupakan untuk sejenak.
Kakek buyut datang berkunjung disertai beberapa tetua desa yang masih merupakan family, menceritakan kisah lama keluarga dan sejarah desa, hujan yang turun sebelum gelap sore tadi menurut mereka adalah pertanda bahwa kami disambu oleh leluhur di desa ini. Cerita-cerita dan keramahan tetap berlanjut sampai mata ini sudah tidak bisa untuk dibuka lagi. Suhu udara yang dingin menggigit melelapkan raga dan jiwa yang letih.
Hari-hari selanjutnya ajakan untuk berkeliling kampung,menikmati pemandangan sawah-sawah organik, penggilingan padi dengan alat penumbuk tradisionalnya, serta tak lupa mandi dan bermain-main di sungai Olama dan bermain Volli ball bersama anak-anak muda desa menjadi kegiatan yang menyenangkan. Setiap malam saya selalu melengkapi catatan saya tentang desa ini dari diskusi bersama buyut dan para tetua desa yang lain.
Sehari sebelum kepulangan saya ke barat, para tetua mengajak saya ke salah satu situs makam di luar desa, tepatnya diseberang sungai Bulawa, makam yang ditempuh dengan berjalan kaki dan meneberangi sungai itu terletak di punggung bukit dengan empat bongkah karang besar sebagai batu nisan.
Menurut cerita para tetua desa, di tempat ini Raja Moluadu bersama Istrinya Ratu Sendena dan kedua anaknya dimakamkan. Kunjungan itu di dahului dengan ucapan para tetua dalam bahasa daerah, yang kira-kira bermakna bahwa kunjungan ini bukanlah untuk meminta berkat dari mereka yang berada dalam kubur, melainkan mendoakan mereka yang sudah berada di haribaan Yang Maha Kuasa dan meminta kepada Sang Pencipta. Kunjungan ke makam itu kemudian dilanjutkan dengan doa tahlil bersama. Setelah itu para tetua memotong bambu kecil yang tumbuh di bawah kaki makam dan memberikan satu ruasnya untuk saya bawa pulang. Menurut mereka, bambu itu merupakan bambu yang digunakan untuk menandu keluarga raja ke peristirahatannya yang terakhir. Bambu ini dulunya ada di bagian atas makam, sekarang tumbuh di kaki makam, dan konon katanya bambu tersebut tak pernah tumbuh lebih dari satu batang.
Selain kompleks ini masih ada lagi kompleks makam yang lain yakni di kaki gunung Sinandaha, tempat perisitrahan raja-raja yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama lebih dari dua hari dari kampung Pinogu yang sekarang. Nama Pinogu sendiri diambil dari kata Pinogumbala dalam bahasa Bonda yang berarti tempat pertempuran. Dimana dikisahkan bahwa dua Raja yang bersaudara Pulumuduyo dari kerajaan Suwawa dan Mooduto dari kerajaan Bolaang Mongondow terlibat perang saudara di tempat itu.
Kunjungan ke timur itu pun harus diakhiri. waktu telah banyak berlalu, tak terasa sudah 3 tahun berlalu sejak kunjungan itu. banyak hal yang sudah berubah, termasuk ekspansi perusahaan pertambangan ke daerah itu. namun memori tentang timur akan selalu dikenang dalam hati, dan lewat goresan pena anak negeri ini.

Gorontalo, 11 Juni 2012
<a href="http://angingmammiri.org/?p=2008" alt="Lomba Blog Paling Indonesia"/><img src="http://i168.photobucket.com/albums/u175/ipulji/bannerlomba.jpg" title="Lomba Blog Paling Indonesia"/></a>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar